Minggu, 24 Mei 2015

cerpen pembersihan harta

Malam sabtu itu, perasaanku sudah mulai tak karuan. Makan tak enak, apalagi untuk tidur malam. Sejak siang hari rona wajah Ayah juga tak seperti biasa. Layaknya ada sebuah beban pikiran yang menggantung berat di ubun-ubun kepalanya.

Rumahku yang terlihat asri, dipenuhi bunga-bunga dan tanaman buah serta air mancur yang terus mengalir di kolam tak serta merta menenangkan emosi hatiku. Lihat saja, rumah yang terletak hampir di tengah ladang, dengan sisi utara sampai sisi barat berderet bukit-bukit gunung Rinjani yang terkenal jadi tempat pendakian anak-anak para pecinta alam masih tak cukup untuk sang hati. Suasana sunyi, sepi, dan menenangkan. Tak ada kendaraan lalu lalang terkecuali tukang sayur atau kendaraan pribadi yang bisa dihitung jari.

Hari sudah mulai gelap. Suara-suara berisik musang yang berkeliaran di atas atap menambah gaduh malam itu. Aku pun langsung menutup jendela kamarku yang langsung mengarah ke ladang, melalui pintu belakang dan mengunci pintunya dua kali.

Aku juga merasakan hal yang aneh beberapa hari ini. Entah memang aku bisa merasakan yang tak orang lain rasakan atau hanya perasaanku saja. Sore itu saat Ayah menemui tamu di teras, sesekali aku melihat orang menengok ke arahku. Sedangkan tamu ayah jelas-jelas duduk manis di kursinya. Tak ada orang lain lagi. Aku pikir aku sedang lelah.

"Ma, malam ini kita makan apa? Aku mau cepat-cepat untuk segera tidur"
"Masih ada sayur rawon sama tempe goreng di dapur. Makan dulu saja, nanti biar bapakmu nyusul"
"Iya ma"

Kamar berantakan, itu sudah biasa bagiku. Laptop ASUS berwarna putih beserta lembaran-lembaran kertas di atas kasur segera kusingkirkan ke atas meja. Biasanya sebelum tidur suatu kewajiban untuk bermain "Get Rich" dulu. Tetapi entah kenapa saat itu aku enggan untuk mengambil android baruku di atas galon ruang tengah karena sedang di-charge.

Malam itu aku sedikit melakukan gerakan yoga. Lagi-lagi perasaanku tak karuan. Ada yang janggal disini. Tetapi mungkin aku sedang lelah.

"Ma, Memei tidur dulu ya!"

Malam pun semakin larut. Tak lagi kuhiraukan suara dengingan nyamuk yang sebenarnya membangunkanku. Kuabaikan suara derapan musang kecil berkeliaran, yang sebenarnya sengaja mengganggu tidurku.

"TOEENGG!"

"Ayah, suara apa itu?"tanya mamaku.
"Oahmm.. suara musang mungkin"
"Tapi itu seperti suara besi yang dipukul-pukulkan Ayah!"

Hari sudah menunjukkan pukul 03.00. Dinginnya malam semakin membuatku beringsut masuk ke dalam selimut tebalku.

"Yah, mau kemana?"

Ayah pun pergi, menuju kamarku. Menyalakan lampu neon kamarku. Sedikit kubuka mataku, kulihat  kemana Ayah akan pergi. Pintu balkon itu dan...

"WOIIIII!! WOIII!!"

Suara riuh rendah memenuhi kamar tidurku. Setengah percaya setengah tidak, 5 orang laki-laki masuk beruntun dan menyeret ayahku ke dalam. Napasku mulai tersengal-sengal. Ya, karena mendengar tangisan mamaku yang memohon-mohon pada mereka untuk tidak menyakiti adikku yang berumur 3 tahun. Siapa yang berani melawan? Mereka semua membawa golok dengan wajah ditutup topeng seperti perampok-perampok di televisi.

Jelas, aku juga disandera mereka. Ibuku dan adikku duduk berkumpul di atas tempat tidur. Sedangkan mereka mengobrak-abrik seluruh isi rumahku. Menguras habis seluruh barang yang bisa dijual.
Tiba-tiba saja aku melilhat kabut putih mengikuti mereka, sontak aku teriak-teriak seperti orang kerasukan.

"Kamu!!! Kamu!!!"

Tanganku tak lepas menuding-nuding bayangan di belakang mereka. Mereka pun terkejut mendengar pengakuanku, bahwa mereka tak sendirian. Ada yang membantu di luar sana. Dengan sigap mereka mematikan lampu kamarku, bahkan hampir membungkusku dengan selimut tebal.

SIALAN!!!

Alhasil mereka mengobrak abrik isi kamarku dengan pencahayaan senter. Bahkan mereka begitu gelisah karena aku terus berteriak-teriak menunjuk-nunjuk makhluk di belakang mereka.

"WOOIII!! Bu, anaknya suruh diem!"

Lantunan doa kami panjatkan bersama-sama. Entah mereka mendengar atau tidak. Aku hanya sedikit melakukan meditasiku dan berdoa agar mereka segera pergi dan ditunjukkan pada hati nuraninya. Tak elak juga Ayahku juga menceramahi mereka dengan sebutan-sebutan Wallahi dan Laillahaillalah.

Tetapi siapa yang berani melawan sekelompok orang membawa senjata tajam? Siapa yang rela bertaruh dengan nyawa demi sebuah harta?
Tak lama mereka pun langsung lari membawa segala macam barang berharga.

Tidak!! Ini bukan sinetron, ini bukan mimpi, ini kenyataan!!
Aku duduk terdiam. Bagaimana mungkin seseorang mencongkel pintu balkon kamarku dan aku tak sadarkan diri? Sepulas itukah tidurku?

Sujud syukur kulakukan pada Allah SWT, ternyata laptop dan android terbaruku telah terabaikan oleh mereka. Hanya barangku yang terselamatkan.
Hitung saja semua ini adalah pembersihan harta. Siapa sangka barang yang kita beli dengan uang jerih payah adalah barang hasil curian. Lagipula harta itu datangnya dari Allah, maka sudah pasti harta itu kembali pada Allah. Dengan tidak melupakan untuk selalu bersedekah kepada orang yang lebih membutuhkan.

"Ayah nggak lapor polisi?"
"Buat apa? Yang ada hanya terekspos dan manusia selalu mengomentari sesuka hatinya. Sudahlah, toh itu semua tak ada gunanya. Justr bikin tambah rame aja. Tidur aja Mei," jelas Ayah.

Ya, benar. Semua terlambat. Itung-itung pembersihan harta. Allah tahu bahwa keluarga kami sedang terdzalimi, alangkah indahnya jika saat seperti ini aku berdoa untuk masa depanku yang sukses. Aamiin.