Sabtu, 21 Juni 2014

Hai, Rei?!

Aku senang bermimpi.
Aku senang menuliskan mimpi-mipiku pada kertas, dan kutempelkan pada sebelah dipanku agar setiap sebelum tidur aku bisa membacanya dan berdoa agar semuanya terwujud. Karena aku senang bermimpi, aku pun senang untuk tidur.
Tetapi... mimpi-mimpi ini justru membuatku gila.



Ngilu terasa di pelipis kananku. Sedikit kusentuh, rasanya semakin sakit. Badanku mulai basah oleh keringat. Di punggung tangan, bawah mata dan dahiku. Suara ramai orang-orang dari luar kamar membuatku membuka mata. Apa yang baru saja terjadi? Aku mulai bingung dan mengerjap-ngerjapkan mataku..


“Sudah, nanti saja bangunnya. Capek ya?”

Suara lagu pop serta berisiknya orang-orang sedang makan terdengar di telingaku. Kulihat di kamarku terdesain indah layaknya kamar seorang pengantin. Dan.. seorang pria muncul di pintu kamar dengan tergopoh-gopoh tersenyum lembut, hangat dan menatapku begitu dalam. Aku masih belum paham. Aku...

"Ini..ada..apa, Ma?”, ucapku terbata-bata pada mama yang berhias sangat cantik dengan kebaya berwarna merah marunnya.

Mama hanya tersenyum. Kulihat diriku memakai gaun pengantin berwarna merah yang sangat indah dan begitu kuimpikan. Sesuai dengan desain yang kubuat saat .. saat...

“Aku..aku...?”,ucapku terbata dengan rasa takut.

“Sayang, kamu kenapa? Rei, kemarilah!”,kata ibu kepada seorang pria yang sedang berdiri di pintu.

Nafasku mulai tak teratur. Rasanya aku ingin berteriak ‘APA YANG SEDANG TERJADI?’

“Nak, tadi kamu tiba-tiba tertidur setelah Rei mengucap sumpah setia di atas Al-Qur’an. Kamu terlalu bahagiakah sampai-sampai seperti itu? Mama cemas, juga geli sekali”,jelas mama.

“Bukannya aku, aku sedang tidur di kamar tadi? Kok tiba-tiba aku..“

“Ya, tapi masa tidur di acara sakralmu itu? Mama tau sih, kamu seneng banget tidur. Dasar ya kamu ini! Hahaha..”,kata mama sambil terbahak.

Aku benar-benar masih tak percaya. Bukan! Ini mimpi! Tidak! Aku belum menikah. Seingatku, semalam aku beranjak untuk tidur. Tetapi, kenapa aku sekarang sudah ada di pelaminan? Aku semakin tak tenang, aku beranjak dari kasur dan menengok keluar kamar. Kulihat foto ‘pre-weddingku’ dengan seseorang yang kulihat di kamar tadi. Siapa namanya? Rei? Hah, aku tak tahu siapa dia. Segera kucubit tanganku dengan keras. Begitu juga teriakan rasa kesakitanku.

“Nak, kamu kenapa?”,teriak mama.

“Ma, katakan padaku yang sejujurnya! Aku mohon!”,ucapku hampir terisak.

“Kamu ngomong apa, Dinda?”,tanya mama heran.

“Aku hanya bermimpi kan? Setahuku, terakhir kali kuingat, aku beranjak ke kasur untuk tidur malam. Dan aku memang berniat keesokannya untuk menghadiri pernikahan temanku. Tetapi.. kenapa... aku yang menikah?”,ucapku tak karuan.

Pria yang ada di sebelahku tertawa kecil. Matanya berputar layaknya menertawakanku karena aku seperti orang kecil.

“Hush! Kamu ini ‘ngaco’ ya? Sembarangan! Hei, Rei sudah sah jadi suamimu. Ini Rei! Yang kamu kenalkan pada mama usai kamu pulang kerja beberapa bulan yang lalu. Bahkan kamu sangat senang ketika Rei melamarmu. Apa kamu tak ingat, Nak?”,tanya mama.

Kuamati lekat-lekat pria yang bernama Rei. Dari ujung kaki sampai ujung kepala. Seorang pria berkacamata, memiliki sedikit janggut, hidungnya mancung, rambutnya sedikit ikal dipotong pendek, tingginya mungkin sekitar 170cm, lengkap dengan pakaian pengantin pria. Ia tersenyum tulus. Hangat.

“Ma, apa aku boleh..emm..boleh.. tidur lagi?”ucapku lirih.

“Hah? Kamu ngomong apa? Tamu-tamu sudah banyak di depan. Kamu mau tidur? Ya ampun, permohonan macam apa sayang? Oh tidak!”,ucap mama.

“Aku pikir, aku sekarang sedang bermimpi. Aku pikir aku .. aku..sebenarnya masih sendirian dan ingin fokus bekerja saat itu. Tetapi aku tak mengira, sekarang aku sudah ada di pelaminan. Bahkan sudah bersuami. Aku bingung ma. Aku bingung..”,ucapku tersedu.

“Tante, mungkin Dinda butuh istirahat sebentar. Mungkin ia kecapekan. Jadi bagaimana jika kita tinggalkan ia dulu untuk beristirahat. Lagipula tadi kepalanya juga sedikit terbentur meja”,ucap Rei.

Aku kembali memandangnya. Rei. Aku bahkan tak pernah bertemu bahkan mengenalnya. Latar belakangnya, umurnya, pekerjaannya. Dan aku tak merasa mengenalkannya pada mama. Tetapi mengapa ia sangat mengenalku?

“Baik. Beristirahatlah. Sebentar saja!”,ucap mama singkat.

Mereka berdua pun keluar dari kamarku sambil menutup pintu rapat-rapat. Kupandangi lagi sekeliling kamarku. Bahkan kupastikan kembali apakah ini benar-benar kamarku. Dan.. yah..ini benar kamarku. Kulihat beberapa kertas tertumpuk di dalam lemari. Kertas-kertas mimpiku. Setiap mimpiku yang tercapai biasanya kucoret sebagai tanda sudah tercapai. Dan mimpi ke-28? Sudah kucoret? Mataku membelalak dengan mulut menganga. Kapan aku mencoret mimpiku yang ke-28 ini? “MENIKAH SEBELUM UMUR 27 TAHUN”.

Aku terkejut bukan kepalang. Memang benar aku belum berumur 27 tahun. Tetapi kenapa aku menuliskan ini? Bisa saja aku menikah saat berumur 18 tahun, 21 tahun, dan sekarang.. aku berumur.. kucari handphoneku di setiap sudut kamar. Dan kutemukan di dalam lemari bahwa sekarang tanggal 21 Juni 2014. Aku terbelalak. Berarti dua minggu lagi aku genap berumur 27 tahun? Aku jatuh terduduk.

Kembali kuhela napas panjang. Kutenangkan diriku. Mencoba menerima ini semua. Ya, ini bukan mimpi. Apa yang harus kulakukan sekarang? Ya, aku harus membenahi dandananku dan keluar untuk merayakan hari sakralku ini.

Kubuka pintu kamar perlahan. Orang-orang sudah ramai lalu lalang. Saudara-saudaraku sudah menungguku di luar. Satu persatu mereka memberiku ucapan selamat dan menanyakan kondisiku. Aku hanya tersenyum. Jauh di lubuk hatiku terdalam, aku berkata’ini hanya mimpi, nikmati saja’. Tetapi ini nyata, aku masih belum bisa mengartikannya

Tak lama aku bersanding dengan pria bernama Rei di kursi pelaminan. Bersalaman dengan para tamu. Undangan begitu ramai sekali. Sepertinya Rei adalah orang kaya. Lagipula jika aku sekarang bersuami, Rei tidak buruk dan aku pikir dia adalah lelaki idaman. Senyum licik terlukis di wajahku.

Tak terasa hari sudah malam. Mereka bilang malam pertama adalah malam yang menyenangkan. Tetapi tidak bagiku untuk saat ini! Sudah kuputuskan, aku tak..

“Sudah, nggak usah takut. Mungkin kamu terlalu capek. Malam pertama bisa kita lakukan malam selanjutnya bukan? Tidurlah sayang”,ucap Rei lembut.

Aku mulai tertidur, berharap..berharap..berharap..

“Dinda!!! Bangun!”,teriak mama.

Perlahan kubuka mataku. Kamarku? Jantungku berdetak kencang. Aku langsung terbangun. Tak ada kamar pelaminan. Tak ada Rei.. Dimana dia? Aku benar-benar panik mencarinya.

“Ma, mana Rei?”,tanyaku ragu.

“Siapa itu Rei? Cepatlah bersiap-siap! Bukannya kamu mau pergi ke pernikahan temanmu?”,tanya mama.

Aku kembali ke kamar untuk bersiap-siap. Kulupakan sejenak pikiranku tadi. Sebentar lagi Sinta menjemputku.

TIINNNN...
Suara klakson terdengar dari luar.

Aku segera masuk ke dalam mobilnya. Dan, kulihat pria itu ada di dalam mobil Sinta. Aku tertegun cukup lama.

“Dinda! Kenalin ini Rei, tunanganku. Baru saja lulus S2 dari Itali kemarin. Hehe..”,jelasnya.

Wajahku pucat seperti telur busuk. ‘Apa aku tertidur lagi? Ini mimpi kan?’